Sabtu, 21 Oktober 2023 01:08 WIB

Mengembangkan Mata Kuliah Wajib Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan, ST Bhinneka Menjadi Founding Member Jejaring Internasional Climate-U

Berawal dari obrolan ringkas di sebuah sesi diseminasi Climate-U di University College London (UCL) berlanjut penjajakan kerjasama di Senate House dengan Prof. Tristan McCowan, ST Bhinneka resmi menjadi founding member jejaring internasional Climate-U. Climate-U sendiri adalah projek penguatan peran perguruan tinggi dan partisipasi komunitas lokal dalam merespon krisis iklim dan isu-isu sustainability. Berpusat di UCL, projek tersebut diikutsertai 19 universitas dan 3 institusi yang kemudian melakukan penelitian dan pemberdayaan masyarakat di negara masing-masing. Tidak kurang dari 9 negara menjadi lokasi projek tersebut, tersebar di Asia, Afrika, Eropa, Amerika Latin, hingga Pasifik. Dari Indonesia, ST Bhinneka menjadi satu-satunya perwakilan. 

Sebagai langkah transformasi Climate-U menjadi sebuah jejaring sekaligus diseminasi hasil penelitian dan pemberdayaan selama hampir dua tahun belakangan, pada 16-20 Oktober 2023, bertempat di UCL, Senate House, dan Woburn House, Climate-U mengadakan sejumlah kegiatan baik yang bersifat internal maupun yang dibuka untuk publik. Rangkaian kegiatan tersebut menjadi acara puncak projek Climate-U walaupun projeknya baru akan resmi selesai pada Januari 2024. Di antara yang dibuka untuk publik dan menjadi acara inti adalah agenda berikut: 

Pertama, kegiatan International Forum on Higher Education and the Climate Crisis pada Rabu, 18 Oktober, yang diselenggarakan oleh The Association of Commonwealth Universities (ACU) sebagai impact partner Climate-U. Pada kegiatan tersebut, Rektor ST Bhinneka, Dr. Tracey Harjatanaya dipercayai untuk memimpin diskusi bertema university leadership for climate action: an international dialogue, di mana beliau berdiskusi dengan sekretaris jenderal The Association of African Universities, serta para rektor dari University of London, Federal University of Para, Brazil, serta Kenyatta University, Kenya. 

Kedua, Higher Education and the Climate Crisis International Conference pada Kamis, 19 Oktober 2023. Pada konferensi tersebut, ST Bhinneka, yang diwakili oleh Dr. Tracey Harjatanaya, Dorothy Ferary, MSc., dan Irfan Sarhindi, MA., memaparkan temuan dari projek pengembangan dan implementasi kurikulum pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan atau Education for Sustainable Development (ESD) pada panel “interdisciplinarity”. 

Tentang Modul ESD

Sebagai bagian dari perwujudan salah satu nilai dan filosofi nama universitas–“Terra”–dan difasilitasi oleh Climate-U, sejak Juli 2023 ST Bhinneka mengembangkan modul ESD. Modul tersebut dirancang sebagai mata kuliah wajib universitas dan bersifat interdisipliner. Melibatkan 17 dosen, modul ESD dikembangkan dengan pendekatan Participatory Action Research (PAR) di mana dosen terlibat sebagai peserta sekaligus peneliti. Sepanjang proses pengembangan, para dosen mendapatkan pembekalan mengenai SDGs, krisis iklim, PAR, Theory of Change (ToC), monitoring dan evaluation, serta matriks untuk menentukan pemangku kepentingan yang mesti dilibatkan. 

Pemangku kepentingan yang berasal dari pemerintah, komunitas, dan praktisi tersebut kemudian diundang untuk mengikuti FGD pada kegiatan ESD Week di mana para dosen menangkap concern dan insight dari para narasumber. Insight yang didapatkan kemudian disintesiskan menjadi modul yang diajarkan kepada lebih kurang 469 mahasiswa lintas program studi di semester ganjil 2023. Nantinya, modul tersebut akan mendorong mahasiswa untuk melakukan mini riset. Untuk memastikan mini riset tersebut bersifat optimal, dosen akan membekali para mahasiswa dengan kemampuan jurnalistik dan kepenulisan. Harapannya, tidak hanya pengetahuan dan kesadaran akan krisis iklim dan isu sustainability yang akan terbangun, tetapi juga kemampuan untuk berbuat sesuatu yang berdampak walaupun kecil. 

Lesson Learned   

Merefleksikan proses pengembangan modul, ST Bhinneka mengidentifikasi tiga pelajaran penting. Pertama, untuk mengembangkan kurikulum ESD yang komprehensif dan berkelanjutan, pendekatan yang holistik perlu dilakukan. Modul tersebut tidak boleh hanya sekadar jadi mata kuliah, tetapi lebih dari itu harus terefleksikan dalam visi-misi universitas, budaya institusi, aktivitas ekstrakurikuler, kebijakan, serta strategi pemberdayaan komunitas. Kurikulum tersebut juga tidak bisa hanya dikaitkan pada satu atau dua program studi yang dianggap terkait dengan krisis iklim. Alih-alih, harus mengadopsi perspektif interdisipliner karena isu krisis iklim tidak bersifat eksklusif dan alienated

Kedua, terlepas dari ketidak-familiaran para dosen terhadap PAR, metode penelitian tersebut dirasa dapat menjadi framework dan mekanisme yang sangat kuat, yang memungkinkan universitas memastikan komprehensivitas dan keholistikan pendekatan dan substansi kurikulum. Hal ini karena melalui PAR, para dosen terdorong untuk mengaktivasi agency-nya secara lebih aktif. Selain itu, PAR dapat mensinergikan implementasi tridarma perguruan tinggi, membuatnya menjadi lebih sistematik, strategis, dan berdampak. 

Ketiga, media engagement sangat diperlukan dalam mendiseminasikan temuan, gagasan, maupun concern yang ditemukan selama dan setelah proses pengembangan dan implementasi modul. Hal tersebut agar diskusi mengenai krisis iklim tidak berputar di kalangan akademisi, tetapi juga dapat menjadi bagian perbincangan masyarakat secara lebih luas. 

Serba Baru 

Keikutsertaan ST Bhinneka dalam projek Climate-U sendiri terbilang baru dan karenanya menjadi anggota paling akhir dari founding member jejaring internasional tersebut. Namun begitu, Principal Investigator Climate-U, Professor McCowan, menilai ST Bhinneka memiliki keunikan modalitas tersendiri yang memungkinkan ST Bhinneka dapat berlari cepat dan mengerjakan projek dalam waktu yang relatif singkat. Keunikan tersebut, menurut beliau, terletak pada unsur ‘kebaruan’ ST Bhinneka yang memungkinkan pola dan skema pergerakan yang lebih dinamis dan fleksibel. Selain itu, demografi dosen ST Bhinneka yang mayoritas diisi oleh dosen-dosen muda membuat ‘perubahan’ yang distimulus dari jajaran kepemimpinan relatif direspon dengan positif karena para dosen memiliki semangat perubahan yang tinggi. 

Dalam catatannya, McCowan mengapresiasi pada bagaimana jajaran kepemimpinan ST Bhinneka yang berusia muda menumbuhkan, memberi ruang, dan mendorong para dosen untuk mengaktualisasikan agency mereka dalam proses trial and error menjalankan projek dengan tema dan pendekatan penelitian yang bagi sebagian besar dosen sangat ‘baru’. 

Langkah Selanjutnya   

Berangkat dari pengalaman mengembangkan modul ESD dan dengan mempertimbangkan jejaring internasional Climate-U, ST Bhinneka merumuskan lima rencana tindak lanjut. Pertama, mengeksplorasi potensi kolaborasi bersama founding member Climate-U, misalnya, dengan menulis studi komparasi mengenai pengalaman mengimplementasikan projek Climate-U di lokalitas masing-masing. Kedua, mengevaluasi dan memperbaiki modul yang sudah berjalan sebagai proses perbaikan yang berkelanjutan. Ketiga, membuka lebih luas potensi kolaborasi bersama komunitas dan praktisi, untuk merespon isu-isu faktual dan kontekstual secara spesifik dengan pendekatan interdisipliner, sekaligus sebagai ruang bagi dosen dan mahasiswa untuk melakukan aksi nyata. 

Keempat, melakukan diseminasi kepada publik melalui platform digital mengenai temuan-temuan, concern-concern, atau praktik baik terkait isu krisis iklim dan sustainability. Selain menjadi bentuk tanggung jawab intelektual universitas, langkah tersebut juga selaras dengan cita-cita Climate-U untuk mendorong transformasi sosial di mana universitas dengan modalitasnya dapat menjadi mediating actor. Kelima, membuka potensi adaptasi modul ESD di, dan bagi, universitas lain yang tertarik dengan isu sustainability, melalui penguatan kerjasama. Karena sustainability dan krisis iklim adalah isu dan masalah besar kita semua. 

Irfan L. Sarhindi,
Ketua LPM ST Bhinneka 

Tags :